Kelahirannya...
Pacitan, 2 Juli 1994. Sebuah kota yang berada di sudut terbawah di peta Jawa Timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Jawa Timur. Dan tepat di sebelah selatan kota tersebut, terdapat laut selatan yang terbentang luas di pinggiran selatan Kota Pacitan. Sebuah kota dengan penduduk mayoritas bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Sebuah kota kecil yang menjadi saksi bisu atas lahirnya tokoh besar...
Malam pun tiba. Membentang menutupi langit-langit Kota Pacitan. Cahaya bulan dan bintang pun menyinari gelapnya kota tersebut. Ya, saat itu sedikit sekali yang menggunakan lampu listrik.
Marilah kita mengintip sebuah rumah tua yang ada di kota tersebut. Terlihat seorang ibu yang merintih kesakitan di gelapnya malam. Bu Utari Netty namanya. Dia mengeluhkan sakit pada perutnya. Bukan karena kelaparan, bukan pula karena kekenyangan. Ya, Dia sedang hamil tua. Kehamilannya telah menginjak bulan yang ke sembilan. Dia sudah merasakan, janin yang ada di rahimnya akan lahir. Lahir sebagai bayi pertama yang dimilikinya.
Lima menit kemudian, sakit tersebut berangsur-angsur menghilang. Bu Netty kembali melanjutkan aktifitasnya, menonton TV. Tak ada yang mampu dia lakukan dengan keadaannya yang demikian rupa selain bermalas-malasan. Merasa jenuh dengan acara-acara yang ada di TV, dengan tertatih-tatih dia pun beranjak ke kamarnya untuk tidur.
Ahad, 3 Juli 1994. Belum terdengar lantunan azan shubuh dari mu'adzin, terdengar kembali rintihan yang sama terdengar di malam sebelumnya. Ya, Ibu tersebut kembali mengeluh kesakitan. Berbeda dengan yang dirasakannya tadi malam, kali ini terasa lebih sakit. Tak lama kemudian, sakit tersebut berangsur-angsur menghilang... lagi.
Seakan-akan sakit tersebut mempermainkan Bu Netty. Baru saja sesaat dia merasa tenang, sakit itu datang lagi dengan daya yang lebih menyakitkan dari sebelumnya. Kemudian hilang lagi. Datang lagi, hilang lagi.
Merasa iba dengan apa yang diderita oleh adik perempuannya tersebut, Budhe Emi pun menelepon suami Bu Netty yang kini berada di Surabaya. Pak Achmad Cholis namanya. Memang, setiap Hari Sabtu Pak Cholis selalu merantau ke Kota Pahlawan tersebut hanya untuk memperdalam Agama Islam. Dia biasa mengaji di Majlis Tafsir Al-Qur'an di daerah Kembang Kuning. Dan baru di Hari Ahad dia pulang ke Pacitan, kota kelahiran istri tercintanya.
"Dek, Utari badhe ngelahiraken..." terdengar suara wanita paruh baya dari gagang telepon.
"Enggeh, kula tak nyeranthos Sholat Shubuh riyen..." jawab Pak Cholis lembut.
Bersambung...
0 komentar: